6.16.2008

MAKNA لا إله إلا الله

An-Nashihah

MAKNA لا إله إلا الله
Oleh : Ust. Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, LC
Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?

Jawab :

Tidak ada keraguan bahwa kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah adalah kalimat yang paling agung, rukun pertama dalam Islam, penentu selamat atau meruginya seorang hamba di akhirat, dasar iman serta asas dakwah dari seluruh Nabi dan Rasul, sebagaimana dalam firman Allah I :
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thagut (segala yang disembah selain Allah)”. (QS. An-Nahl : 16/36).
Dan kalimat inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang kafir. Oleh karena itu seorang muslim wajib mengetahui makna yang benar dari kalimat ini agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang bisa mengurangi nilai syahadatnya bahkan bisa membatalkannya.

Makna Laa Ilaaha Illallah
Secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut :
Laa adalah nafiyah lil jins (Menafikan jenis secara nash) yaitu Laa yang meniadakan jenis kata benda yang datang setelahnya, misalnya : Laa rajula fil bait (tidak ada seorang lelaki pun di dalam rumah). Rajula adalah kata benda untuk jenis laki-laki, dalam contoh di atas kata rajula ini terletak setelah laa nafiyah lil jins maka maknanya adalah “tidak ada seorang pun dari jenis laki-laki berada di dalam rumah”.

Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) yakni bermakna ma`luh artinya ma’bud (yang diibadahi) sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Abbas terhadap ayat 127 dalam surah Al-A’raf :

وَقَالَ الْمَلأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَ تَذَرُ مُوْسَى وَقَوْمَهُ لِيُفْسِدُوْا فِيْ الْأََرْضِ وَيَذَرَكَ وَءَالِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِلُ أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِيْ نِسَآءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْنَ
"Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum Fir’aun (kepada Fir’aun) : “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membut kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta ilah-ilahmu?”, Fir’aun menjawab : ”Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh di atas mereka”. (QS. Al-A’raf : 7/127).

Alihataka (ilah-ilahmu) yaitu ibadah kepadamu karena Fir’aun itu disembah dan tidak mau menyembah.
Lihat : Tafsir Ibnu Jarir.
Dan dalam syair dari Ru`bah Ibnul ‘Ujaj
لِلَّهِ دَرُّ الغَانِيَاتِ الْمُدَّهِ سَبَّحْنَ وَاسْتَرْجَعْنَ مِنْ تَأَلُّهِي
“Betapa hebatnya para wanita kaya yang cerdik mereka bertasbih dan membaca istirja’ melihat Ta`alluhi (pengilahanku)”.
Sisi pendalilan dari syair ini adalah kata Ta`alluhi (pengilahanku) yakni penyembahanku dan permintaanku kepada Allah dari amalanku.
Lihat : Fathul Majid hal.19.
Illa (kecuali). Pengecualian disini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang dinafikan oleh laa. Artinya bahwa hanya lafadz jalalah “Allah” yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa.
Allah asalnya Al-Ilah dibuang hamzahnya kemudian lam yang pertama diidhgamkan pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih.

Allah (lafadz jalalah). Kata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin 1/18 : “Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan...”.

Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.

Kemudian Laa ini masuk ke dalam mubtada dan khobar, yaitu masuk pada jumlah ismiah, mubtada menjadi isim laa dan khobar mubtada menjadi khobarnya, sedangkan pada kalimat Laa Ilaaha Illallah yang ada hanya mubtadanya saja yaitu ilah yang asalnya Al-Ilah kemudian dibuang Al-nya karena seringnya dipakai sementara khobarnya ternyata tidak ada, maka berarti khobarnya (dibuang) maka kita perlu mencari khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar .

Maka para ulama salaf mentaqdirkan bahwa yang dibuang tersebut adalah haqqun dengan dalil firman Allah I dalam surah Luqman ayat 30 :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ البَاطِلُ وَأَنََّ اللهَ هُوَ العَلِيُّ الكَبِيْرُ
“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak dan apa saja yang mereka sembah selain Allah adalah batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Luqman : 31/30).
Sedangkan lafadz jalalah (الله) hanya badal dari ilah bukan khobar laa
Maka dari penjelasan tadi maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah.
لا إله إلا الله

Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah I. Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.

Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.

Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”

Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.

Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.

Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam.
Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :

Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.

Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.

Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah I di antaranya :

وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).

Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu terhadap sesuatu
selain dari Allah yang telah disembah

Tidak ada komentar: